El Nino menurut sejarahnya adalah sebuah
fenomena yang pertama kali teramati oleh para nelayan Peru dan Ekuador yang
tinggal di pantai sekitar Samudera Pasifik bagian timur pada bulan Desember,
tepatnya menjelang hari Natal. Fenomena yang teramati adalah meningkatnya suhu
permukaan laut yang biasanya dingin. Fenomena ini mengakibatkan perairan yang
tadinya kaya akan ikan akibat adanya upwelling atau arus naik permukaan
yang membawa banyak nutrien dari dasar menjadi sedikit jumlah ikan di perairan
tersebut.
Pemberian nama El Nino itu sendiri berasal dari
bahasa Spanyol, yang artinya “anak lelaki”. Suatu saat para ahli kemudian
menemukan juga fenomena mendinginnya suhu permukaan laut akibat menguatnya upwelling,
yang merupakan kebalikan dari El Nino.
Saat ini indikator yang
digunakan untuk mengetahui fenomena El Nino adalah dengan menggunakan data
indeks yang diperoleh dari Badan Meteorologi Australia (www.bom.gov.au/climate/current/soihtm1.shtml), yang disebut dengan Southern
Oscillation Index (disingkat SOI). SOI diukur dari fluktuasi bulanan
perbedaan tekanan udara antara Tahiti dan Darwin. Nilai SOI inilah yang
menunjukkan apakah terjadi fenomena El Nino atau normal. Tabel di bawah
menunjukkan acuan nilai SOI yang dijadikan acuan penentuan El Nino :
Sumber: Australia
Government Bureau of Meteorology.
Dampak yang paling nyata dari fenomena El Nino adalah kekeringan di
Indonesia yang menyebabkan langkanya air di sejumlah daerah dan kemudian berakibat
pada penurunan produksi pertanian karena tertundanya masa tanam. Selain itu,
meluasnya kebakaran hutan yang terjadi di beberapa wilayah di Kalimantan dan
Sumatera juga diindikasikan sebagai salah satu dampak dari fenomena El Nino
tersebut. Untuk La Nina, dampak yang paling terasa adalah hujan deras yang juga
menyebabkan gagal panen pada pertanian karena sawah tergenang.
Maka berdasarkan fenomena el nino, Indonesia berpotensi terkena
dampak dari el nino yaitu inflasi yang berawal dari kenaikan harga listrik yang
dapat membuat naiknya harga pangan disaat menyambut bulan suci ramadhan.
Namun, inflasi Mei 2014 masih terkendali. Ini
lantaran masih berlangsungnya koreksi harga beberapa bahan pangan dan stabilnya
inflasi inti.
Inflai Mei 2014 tercatat 0,16 persen (month to
month) atau sebesar 7,32 persen (year-on-year).
"Inflasi inti mencapai 0,23 persen (m-t-m)
atau relatif stabil seperti bulan sebelumnya. Karena, didukung oleh masih
menurunnya harga global di tengah depresiasi rupiah. Volatile food masih
mencatat deflasi, meski dengan intensitas yang berkurang dari bulan
sebelumnya," .
Tirta menyebutkan, deflasi volatile food tersebut
disebabkan oleh melimpahnya produksi cabe di sejumlah wilayah. "Serta,
masih berlangsungnya panen beras di beberapa daerah," ungkapnya.
Guna mengantisipasi risiko inflasi tersebut, BI
akan memperkuat langkah-langkah penguatan koordinasi pengendalian inflasi,
melalui forum Tim Pengandalian Inflasi (TPI). "BI menilai, inflasi sampai
dengan Mei 2014 masih sejalan dengan pencapaian sasaran inflasi 4,5 persen plus
minus 1 persen pada 2014."
Sumber : http://www.merdeka.com
http://majalah1000guru.net
Sumber : http://www.merdeka.com
http://majalah1000guru.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar